Manusia memiliki kepekaan tinggi terhadap pergerakan dan perubahan. Sejak bayi kita telah distimulasi oleh mainan bergerak, berputar, beraneka bentuk dan warna yang digantung di atas ranjang. Kita lebih terhibur memandang air mancur ‘menari’ - apalagi jika ditambah bonus cahaya yang bisa berubah warna - dibanding air yang memancur statis. Hong Kong skycrapers terlihat lebih menarik saat symphony of lights dimulai, Monas di bulan Juni jelang HUT Jakarta, Shibuya crossing saat lampu hijau menyala dan ratusan orang dari segala arah menyeberang. Masalahnya, begitu banyak tempat di dunia yang menarik, yang hanya struktur statis (bahkan kadang-kadang tidak bisa disentuh). Seperti lukisan Mona Lisa, atau Stonehenge. Diam, kokoh, terlihat sederhana walaupun sebenarnya tidak. Obyek-obyek seperti ini buat saya sangat tricky. Ini bukan sesuatu yang mungkin saya ingin lihat sampai dua kali, tapi juga sayang jika cuma dilihat sekilas pandang saja. Untuk menikmati tempat-tempat seperti ini tanpa merasa bosan setelah 5 menit - dan berkomentar yah begin doang - perlu usaha lebih supaya kita dapat menikmatinya dengan penuh, yang sebenarnya sangat mudah dan murah di era internet: minimal adalah Wikipedia. Setidaknya dengan mengetahui sedikit latar belakang sesuatu yang akan kita lihat, ada hal-hal menarik yang dapat kita apresiasi. Lebih bagus pula jika sesuatu itu kebetulan berkaitan dengan ketertarikan kita terhadap hal-hal tertentu seperti sejarah, seni, astronomi, engineering, dan sebagainya. Di balik suatu obyek atau pengetahuan baru, akan timbul berlapis-lapis informasi dan pengetahuan baru yang sebelumnya tidak kita ketahui. Seperti membuka satu pintu ke sebuah ruangan hanya untuk melihat beberapa pintu lainnya untuk dibuka. Infinite. Hal ini terjadi ketika saya mengunjungi Stonehenge di Wiltshire, Inggris, bulan Mei lalu. Saya mencari tahu tentang Stonehenge di Wikipedia. Dari satu entri tersebut, saya ‘dipaksa’ untuk membuka tab baru mengenai neolithik, blue stone, Aubrey Holes, Durrington Walls, solstice, dan PULUHAN entri lain. Akhirnya saya baru tidur jam 2 malam, di sebuah kamar di rumah teman baru (airbnb host), di sebuah negara asing. Dan semua itu bermula hanya dari satu pertanyaan: Bagaimana caranya 4000 tahun silam manusia menegakkan batu (seberat 25 ton) lalu menumpuk batu lain secara horizontal (dengan kisaran berat yang sama) di atas batu tersebut? Sampai sekarang, pertanyaan tersebut tidak pernah terjawab pasti. Dan pertanyaan yang tidak terjawab itu membuat saya menikmati Stonehenge lebih dari sekedar: cuma gini doang, masih lebih bagus Borobudur kemana-mana*. * Benar-benar kejadian. Teman saya cerita kenalannya seorang ibu-ibu ngoceh ke tour guide. Si Tante ini sama sekali tidak tahu sebelumnya mengenai Stonehenge, dan setelah 3 jam perjalanan dari London, ngamuklah doi ….
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
December 2018
Categories
All
all photographs &/ videos taken by myself unless otherwise stated.
|