Manula-manula berpasangan duduk berhadapan menunduk, berpikir keras memandangi (sejenis) board game , dan mungkin berjudi. Orang-orang lain yang tidak berperan dengan hening memperhatikan di sekitarnya. Asap rokok memenuhi ruangan. Beberapa meter dari ruangan tersebut, di sebuah rumah makan tua yang kusam lelah dengan lampu kuningnya, seorang pria paruh baya berkaraoke dengan mic sember, mengikuti lirik lagu dari sebuah televisi tabung yang tergantung di sudut ruangan (gaya video clipnya, sepertinya ini lagu dari tahun 80-an). Beberapa meter dari restoran itu, di sebuah toko dengan rolling door setengah tertutup, seorang pria berkaos singlet putih terkantuk menunggui sayuran dan buah-buahannya. Wajarlah, ini sudah jam 3 sore.
Di sebuah pasar di Shinsekai, Osaka.
0 Comments
Chinese food selalu ada di/kemanapun saya pergi. Karena imigran China tersebar ke seluruh bumi. Tidak seenak chinese food di Indonesia (the best in the world, even better than the food in China itself IMO), tapi ya lumayan dan selalu saya cari dua hari sekali dalam perjalanan.
Di negara-negara barat, chinese food bisa ditemui dalam dua bentuk dan establishment, restoran fancy dengan dekor se-china mungkin (kanopi seperti kelenteng, gambar naga, tonal warna merah dan emas, meja bundar besar dengan taplak putih). Yang kedua adalah restoran China sederhana yang menyajikan menu buffet dan a la carte, atau malah khusus hanya untuk take away, tidak menyediakan kursi meja sama sekali. Restoran jenis kedua ini justru banyak diminati oleh penduduk lokal. Layanan sejenis ‘Go-Food’ juga banyak mengantri untuk mengambil pesanan makanan. Inilah makanan-makanan china dalam kotak yang sering kita lihat dipesan oleh Rachel & Ross dalam Friends. Just watch this amazing story. Faith in humanity restored! Dan sebenar-benarnya, pizza-nya sih biasa saja, hanya keju dan pasta tomat, berminyak, melenyot-lenyot tidak crispy. But again, It's about how and what we can do and contribute to make a better world. One pizza at at time. “Di Tokyo kemaren nginep dimana?”
“Di daerah Kita Senju.” “Eh, dimana?” Dan kemudian 5 menit bla bla bla menjelaskan apa dan dimana itu Kita Senju, dan kenapa tidak mencari akomodasi di daerah Shibuya atau Shinjuku atau Ginza atau Marounochi. Saya tahu Kita Senju dari calon host airbnb ketika berencana melakukan perjalanan ke Jepang tahun 2015 lalu. Malas rasanya tinggal di area shopping, dan biayanya pun lebih mahal. Saya cuma mencari area yang dekat dengan kereta bawah tanah, tidak terlalu di tengah kota pun tidak apa. Calon (yang akhirnya menjadi) host saya selama di Tokyo bercerita tentang area rumahnya lewat surel. Dan setelah mencari tahu sejarahnya lebih banyak lewat internet, saya lebih tertarik lagi. |
Archives
December 2018
Categories
All
all photographs &/ videos taken by myself unless otherwise stated.
|