Tiba di sebuah pagi yang mendung setelah menempuh perjalanan dua setengah jam naik bis dari Amsterdam. Sorenya di sebuah warung kopi, saya bertemu dan ngobrol dengan waiter yang ternyata anak rantau pekerja keras dari Indonesia, fasih berbahasa Perancis, dengan rambut klimis belah samping sempurna seperti rambut Leonardo DiCaprio (ketika menerima Oscar, bukan seperti dalam film The Revenant). Brussels adalah perpaduan dua kawasan yang sangat berbeda. Pusat kota dipenuhi bangunan modern yang cenderung tidak berkarakter. Gedung-gedung tinggi berbentuk kotak berlapis kaca yang saling memantulkan bayangan dari gedung di sekitarnya. Selain ibukota Belgia, Brussels juga menjadi “ibukota” Uni Eropa, dimana institusi-institusi yang terkait seperti Council of European Union, European Commision, European Parliament, semuanya berkantor pusat di sini. Tapi tidak jauh dari pusat kota modern, Grand Place, sebuah alun-alun kuno yang sudah ada sejak abad ke-14, membentang megah. Grand Place baru bisa kita lihat setelah melewati salah satu dari 6 jalan sempit, seperti lorong waktu yang kita lewati dan tadaaa… kita terlempar ke masa silam. Berada di pusat alun-alun ini seperti berdiri di tengah sebuah benteng, karena semua bangunan yang mengelilingi cukup tinggi. Walaupun udara sangat dingin, di tengah alun-alun ini tidak berangin. Tetapi jika kita melewati salah satu jalan kecil tempat kita masuk atau keluar dari kawasan ini, justru akan tercipta efek ‘lorong angin’. Udara terasa dingin, wajah seperti ditampar handuk basah, dan terdengar deru di telinga. Setelah berfoto dan nongkrong menikmati Grand Place dan melamun membayangkan seperti apa penghuni bangunan-bangunan ini 300-400 tahun lalu, saatnya berkeliling keluar masuk tersesat di gang-gang kecil di sekitar. Semuanya cenderung turistik, semuanya hampir menjadi toko coklat dengan merk-merk terkenal yang sebenarnya bisa kita temui di Jakarta. Lalu ada satu lorong yang semuanya menjadi restoran, dengan meja kursi yang diletakkan di luar. Gang sempit, kiri kanan semua restoran dan semuanya tidak mau kalah harus punya ‘area outdoor’. Jadinya mirip di Petak Sembilan Glodok, atau Sudirman Street Day & Night Market di Bandung. Beda sih, disini suasananya romantis. Tapi dengan set menu yang hampir semuanya memberikan harga mirip-mirip berkisar 500 ribu rupiah (oyster untuk appetizer, main course lamb steak, dessert Belgian waffle, segelas house wine atau belgian beer, lalu ditutup dengan kopi dan teh) saya tidak tertarik. Apalagi saya sudah baca bahwa restoran-restoran ini sebenarnya lebih mahal dibandingkan kawasan lain, dengan kualitas yang sebenarnya juga biasa saja. Overrated. Dan ngomong-ngomong overrated, juaranya adalah Manneken Pis, sebuah patung balita kencing yang menjadi ikon Belgia. Dia sudah berdiri kencing sejak tahun 1600-an. Bocah kecil ini ada di sebuah sudut di salah satu lorong dekat Grand Place, dan… well… benar-benar kecil, tingginya hanya sekitar 60 cm. Daripada susah-susah dan berdesakan memotretnya (kog seperti fedofil), saya justru lebih menikmati mundur untuk mengambil foto turis-turis yang berebutan memotret anak kencing itu. Tahun 1985, seorang artis Belgia membuat patung pasangan Manneken Pis, seorang anak perempuan yang kencing sambil jongkok bernama Jeanneke Pis. Walaupun lokasinya dekat, saya memutuskan untuk tidak repot-repot mencarinya. Keluar dari area Grand Place, saya masuk ke Galeries Royale Saint Hubert, sebuah pertokoan elit yang sudah berusia 160 tahun. Tidak ada barang merk terkenal familiar yang dijual disini, semuanya adalah artisan shops (toko sepatu made by order, toko sarung tangan made by order, artisan chocolate boutique, dan sejenisnya) dengan harga yang sungguh tidak ramah. Jam setengah dua siang, saya sudah berada di area outdoor sebuah restoran, memesan pasta dan kopi. Keluar dari kawasan Grand Place yang super duper kuno membuat kawasan lain jadi terasa lebih modern walaupun tetap kental ‘rasa eropa’nya. Minimal di sini saya sudah melihat ada kios Haagen Dazs, dan merk Jepang Superdry Store. Orang-orang lalu lalang dan saya perhatikan - selain turis - semuanya stylish, baik perempuan (cantik-cantik seperti si Eden yang saya temui di Alexandra) maupun lelakinya. Pria-pria berjas, perempuan ber-blazer, masih dilapis dengan coat sedengkul. Dan multi etnik, Asian, African, Nordic yang berkulit pucat, pria Sikh berturban dan perempuan berhijab saya lihat disini. Mirip di Penn Quarter di Washington DC yang banyak diplomat dan government officials. Tidak lama kemudian saya melihat seorang lelaki berkulit coklat dengan coat sedengkul, berjalan memasuki restoran. Rambutnya klimis belah samping, mengkilap dengan gel. Saya kira diplomat Filipina. Tidak lama kemudian dia keluar tanpa coatnya, berkemeja putih dengan rompi hitam, dan berdiri menyambut tamu yang masuk, “Bonjour!” (Belgia - selain Kanada - menggunakan bahasa Perancis sebagai lingua franca).
Ternyata waiter. Dan saya tetap menyangka dia orang Filipina. Tiba-tiba dia menyapa saya, “Dari Indonesia, Mas?” Sepertinya dia melirik ipad saya yang terbuka dengan website detik.com……. Dimanapun berada, setiap kali ada wifi gratis saya selalu membaca berita lokal. Biasanya Detik (Detik Finance dan Detik Hot), Tempo, dan Kompas. Kami ngobrol sebentar karena makanan saya sudah hampir habis dan saya harus segera kembali ke Amsterdam. Selama percakapan berlangsung, dia tetap berdiri depan pintu dan kadang pembicaraan terpotong karena dia harus mengantar tamu ke dalam. Merantau di Eropa sejak 8 tahun lalu, dan menemukan ‘rumah’ di Brussels, kini dia jarang keliling Eropa karena ‘sudah lewat masa-masa itu, Mas’. Saat ini dia bercita-cita melanjutkan studi dengan fokus international affairs. Menyenangkan rasanya bisa bertemu dengan orang satu bangsa, di sebuah kota, di sebuah tempat yang tidak disangka-sangka. Good luck to you, and hope you’re stay safe now in Brussels.
1 Comment
|
Archives
December 2018
Categories
All
all photographs &/ videos taken by myself unless otherwise stated.
|