11 September 2001, sekitar jam 9 malam. Di Jl. Kelenteng, sebuah jalan kecil dekat rumah - dalam perjalanan setelah kerja lembur - saya menunggu nasi goreng tektek langganan dimasak. Sebuah sms masuk dari teman: “White House di-bom?” Sampai di rumah saya menyalakan TV dan melihat Dunia Dalam Berita. Belum ada berita apa-apa. Rupanya teman saya melihat breaking news dari TV kabel. Sementara di rumah saya tidak ada parabola. Home internet apalagi. Kira-kira jam 10.30 malam muncul breaking news di TV lokal, hanya beberapa menit. Bukan White House. Hanya kesimpangsiuran berita. Bahkan keesokan harinya pun, harian Kompas masih belum terlalu lengkap memberitakan. Baru di hari berikutnya lagi - infografik hampir satu halaman penuh - sketsa gedung kembar WTC dan apa yang sebenarnya terjadi, mulai lengkap diketahui. Sad week for the world. 14 tahun kemudian, saya mengunjungi 911 Memorial Site dan museumnya. Lokasi persis dua gedung WTC sekarang telah menjadi memorial ponds yang luas. Sekelilingnya dilapisi keramik dan hampir 3000 nama korban yang wafat. Bagi keluarga dan teman, ada aplikasi yang dapat diunduh gratis untuk mengetahui persis letak nama orang tertentu. Tidak pernah ada tempat lain yang pernah saya kunjungi yang suasananya seperti disini (mungkin hanya Auschwitz dan Phnom Penh Genocide Museum yang menyamai?) Ada ribuan orang tetapi tidak ada festivities, teriakan gembira, tawa canda. Hanya bisikan dan gumam ribuan orang. Mungkin karena bentuk kolam yang menjorok ke dalam, gumam manusia memantul seperti hymne di gereja. Well, ada saja sih yang tetap kelakuannya tidak respectful, berfoto dengan selfie stick sambil tertawa-tawa. Tapi biasanya ada tatapan tajam dari pengunjung lain ke orang-orang ini. Di ruang publik ini kita juga bisa melihat survivor tree yang sempat saya ceritakan di sini. Tidak lama mengantri (karena beli tiket secara online yang memperbolehkan kita masuk lewat jalur khusus) saya memasuki 911 Museum, turun beberapa puluh meter ke bawah tanah, tepat di bawah memorial ponds. Dengan jalur yang direkomendasikan, hal pertama yang kita lihat adalah peta digital yang disorot ke dinding, secara looping menggambarkan detik demi detik rute pesawat-pesawat komersial tersebut, jam berapa take off dari bandara mana, kapan pesawat tersebut keluar rute, sampai akhirnya sebuah titik merah di tengah Manhattan menyala. WTC. Di ruangan yang sama, rekaman suara masyarakat yang pertama kali melihat langsung kejadian – dari bawah gedung, dari breaking news televisi, dari Brooklyn Bridge, diputar bersamaan. Hanya sayup-sayup, tapi karena puluhan suara berbicara sekaligus, terasa chaos. Teriakan, isak, ketakutan, kebingungan. Saya menghabiskan waktu sekitar 3 jam di museum ini, melihat mulai dari rangka beton terakhir yang diangkat dari lokasi dan ditandatangani oleh perwakilan masyarakat (simbol dari moving on, but you’re not forgotten), mobil pemadam kebakaran yang setengah hancur, patung perunggu berbentuk bola dunia yang sekarang sudah setengah meleleh. It’s quite depressing though. Bagian lain yang membuat orang hening adalah The Blue Tiles. Ada juga bagian-bagian yang tidak boleh difoto sebagai bentuk respek, misalnya ruangan yang dipenuhi memorabilia milik korban yang disumbangkan oleh keluarganya. Di sini ada dompet dengan kartu identitas, sepatu boot pemadam kebakaran yang meleleh, tumpukan arsip, surat setengah terbakar yang melayang waktu gedung runtuh dan ditemukan oleh seseorang di jalan. Ada lagi sebuah lorong seperti labirin, dengan signage yang memperingatkan bahwa yang akan dilihat disini cukup disturbing. Ini adalah foto-foto 911 jumper. Kita mungkin pernah melihat di media, foto orang-orang yang melayang menjatuhkan diri dari gedung WTC. Di bagian akhir dari section ini, ada puisi yang intinya janganlah kita menghakimi keputusan orang-orang yang fotonya baru kita lihat, karena kita tidak pernah mengetahui apa yang mereka alami dan pikirkan. Kita cukup mendoakan mereka beristirahat dalam damai. Keluar dari museum yang seluruhnya hanya dihiasi lampu kuning temaram, sinar matahari kembali menerkam. Memorial ponds masih ramai oleh ribuan orang, wisatawan dari berbagai bangsa, etnik, agama, budaya, gaya busana. Ironis, jika kita mengingat akar mengapa tragedi 911 terjadi. Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu. Gus Dur.
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
December 2018
Categories
All
all photographs &/ videos taken by myself unless otherwise stated.
|