Mungkinkah kita sebegitu bencinya terhadap seseorang atau kehidupan yang ada, sampai kita melarikan diri sejauh 13.000 kilometer untuk memulai lembar baru hidup kita? Jangan sampai sih. Tapi saya pernah bertemu dengan orang yang mengalaminya. Horseshoe Bay, sebuah desa pelabuhan kecil 20 kilometer dari downtown Vancouver di Kanada, bisa ditempuh dengan perjalanan bis sekitar 40 menit. Penduduknya hanya sekitar 1000 orang, tetapi cukup ramai di siang hari karena teluk ini menjadi tempat berlabuh beberapa jalur ferry di kawasan British Columbia. Pemandangannya indah, jalan utamanya sempit, dengan backdrop pegunungan bersalut salju (saat itu awal musim semi). Saya tiga kali kesana, semata-mata jaraknya dekat dan suasananya sangat berbeda dengan downtown. A country side yang masih murni. Bukan area turis, tidak ada toko suvenir, hanya ada beberapa convenience store, kedai kopi, dan deretan ‘ruko’ sederhana. Salah satunya adalah restoran chinese takeout dengan menu prasmanan yang kita pilih, disaji di kotak styrofoam, lalu ditimbang untuk mengetahui jumlah yang harus kita bayar. Di restoran inilah saya bertemu dengan seorang nenek sepuh cantik asal Singapura. Waktu pertama melihatnya, saya teringat Empress Michiko (btw, bahasa Indonesianya Empress apa ya? Kalau emperor-nya kan kaisar). Benar-benar mirip, baik kisaran usia, gaya dan warna perak rambutnya, dan sorot matanya yang anggun, tenang, tapi reserved menjaga jarak. Dia yang pertama membuka percakapan, mungkin curious melihat seorang Asia bisa ada di desa kecil ini: “Are you from the city?” Vancouver memiliki populasi imigran yang besar, terutama dari Hong Kong dan Taiwan. Kalaupun tidak pindah, banyak orang kayanya yang memiliki properti atau summer house di kawasan West Vancouver yang berbukit. Sekilas mirip dengan Dago Pakar, atau The Peak di Hong Kong. Waktu saya bilang dari Indonesia, matanya berbinar,” I’m from Singapore!” Itulah awal obrolan kami sambil saya makan nasi goreng. Dia sendiri hanya beli takeaway menu. Sudah siap dan digenggam dari tadi, tapi dia tetap menemani saya sambil ngobrol, mulai dari Lee Kuan Yew sampai selai srikaya. Dari Orchard Road sampai pulau Ubin. Dia adalah pramugari Singapore Airlines tahun 60-an, lalu pensiun dan pindah ke Vancouver. Ketika saya bertanya kapan dia terakhir pulang kampung, arah cerita langsung berubah. Jawabannya dingin: “Never.” Krik, krik. Silence - awkward - moment - sejenak. Lalu dia berkisah, dia pergi ke Vancouver meninggalkan suaminya. Tentu saja saya tidak tanya kenapanya. “ Tidak ada apa-apa lagi di Singapore yang dapat membuat saya tinggal. I just need to start my new pages. And I’m glad I did.” Nada suara dan raut wajahnya berubah-ubah. Ada kemarahan, kepahitan, tapi juga kelegaan. “But I’m happy now”. Kami berpisah setelah nasi goreng saya tandas. Keluar dari restoran bersama-sama, saya duduk di bangku taman menghadap teluk, memperhatikan dia berjalan tenang di jalan kecil menanjak ke area residensial Horseshoe Bay. Pertemuan saya dengan wanita sepuh ini terjadi 8 tahun lalu. Maret 2008. Wherever you are now, I wish happiness is still be with you. Always.
1 Comment
|
Archives
December 2018
Categories
All
all photographs &/ videos taken by myself unless otherwise stated.
|