Rumah tempat saya tinggal waktu kecil adalah rumah tua yang bangunannya memanjang ke belakang. Kamar mandi - tanpa toilet - terpisah dari bangunan utama, dan toiletnya sendiri malah lebih jauh lagi, harus melewati kebun dengan pohon delima rindang yang suasananya di malam hari cenderung mistis (kalau baper setelah nonton film horor) atau terkadang juga romantis (kalau sedang hujan besar dan panggilan jiwa memanggil, saya harus berpayung untuk menuju tempat BAB). Waktu kecil – sampai kelas 2 SD rasanya – saya dibekali pispot di dalam kamar tidur, supaya kalau malam-malam terbangun ingin kencing tidak perlu ke lokasi shooting Dunia Lain itu. Setiap pagi pekerja rumah tangga kami akan ngurusin itu pispot, pokoknya setiap malam benda berwarna putih tersebut sudah tersedia kembali di sudut kamar. (No, jangan bilang saya anak manja. Coba saja dulu jalan melewati kebun dengan gemerisik bunyi daun-daunan yang tersapu angin. Jam 1 malam. Dalam gulita. Karena ceritanya keluarga kami ini hemat energi). Nah, suatu hari kita semua pergi keluar kota dan baru kembali 1 minggu kemudian. Hari pertama setelah kembali dari bepergian itu berjalan normal-normal saja, sampai malam hari sekitar jam 11 ketika saya membuka tutup pispot, dan…… ternyata ada isinya. Si Mbak lupa bersihin pispot sebelum kita semua pergi. Bayangkan baunya air kencing dalam pispot yang tertutup rapat seminggu. Bau ammonia menyengat tajam menusuk hidung menjalar cepat sampai melewati alis. Istilah ABG yang baru pulang dari Djakarta Warehouse Project: ‘Pecaaaaaaaaah’. Fast forward ke Maret 2014, di Café Loki – Reykjavik, Islandia. Saya mencoba makan hakarl - delicacy populer di Islandia - yang terbuat dari daging hiu Greenland. Cara membuatnya adalah hiu utuh dibersihkan dan dibuang isi perutnya, diisi pasir, lalu dikubur - juga dalam pasir - selama 6 sampai 12 minggu sampai kadar airnya turun. Kemudian jenasah setengah busuk tersebut digali kembali untuk diangin-anginkan selama beberapa bulan, dan tadaaaa…. siap disantap. Yup, tanpa dimasak atau diolah lebih lanjut. (kenapa hiu Greenland tidak bisa dimakan dalam bentuk daging segar, karena mengandung ammonia sangat tinggi sampai masuk kategori beracun/berbahaya.) Untuk yang ingin mengetahui seperti apa rasanya makan hakarl, saya coba mendeskripsikannya seilmiah mungkin tanpa emosi: Bentuk: Sudah dipotong kecil seukuran dan berbentuk dadu. Warna: Putih susu, mirip lemak sapi yang kita gunakan untuk mengoles wajan Hanamasa. Cara makan: Disajikan sebagai bagian dari Icelandic sample platter, terdiri dari rye bread dengan mashed fish (mirip mashed potato tapi dari ikan), ikan trout asap, daging domba, dan fish floss (abon ikan yang rasanya crispy dengan cocolan mentega). Aturannya adalah hakarl dimakan terakhir menggunakan tusuk gigi, lalu tenggorokan kita basuh dengan satu shot brennivins, semacam arak tradisional Islandia. Seperti ini tampilannya: Rasa:
Asin. Doang. Tekstur: Seperti nata de coco, kenyal namun digigit susah hancur, ‘menipis’ perlahan-lahan. Kadar air: Tidak se-juicy nata de coco, tapi tidak sekering keju. Aroma: Sekarang tau kan kenapa saya ngalor-ngidul cerita masa kecil dan pispot?
1 Comment
|
Archives
December 2018
Categories
All
all photographs &/ videos taken by myself unless otherwise stated.
|