Pekerjaan membuat saya cukup sering bepergian dengan pesawat, dan total sejak tahun 2009 sampai saat ini, saya telah mengumpulkan sekitar 80.000 miles Garuda Airline (baik yang diperoleh dari perjalanan yang dibiayai kantor, perjalanan pribadi, dan konversi dari poin kartu kredit). Selalu menggunakan kelas ekonomi, beberapa kali perjalanan domestik saya memperoleh upgrade gratis turun dari langit, mungkin karena pesawatnya penuh dan status membership yang ada membuat saya terpilih untuk dipindahkan ke kelas bisnis. Lumayanlah. Tahun 2014 lalu, pertama kalinya saya melakukan upgrade - memotong poin mileage - dari kelas ekonomi ke kelas bisnis dalam perjalanan pribadi Amsterdam menuju Jakarta. Pengalaman naik kelas bisnis domestik dan internasional tentu banyak bedanya, membuat keudikan saya muncul, baik sengaja maupun tidak. Pertama masuk kabin biasa saja, menurut saya cabin crew Garuda baik di kelas ekonomi maupun bisnis sama ramahnya. Tidak berlebihan. Dan justru saya senang, karena persentase saya naik kelas bisnis dibandingkan ekonomi mungkin hanya 1%. Ketika semua penumpang telah duduk, baru saya merasakan ada perbedaan. Cabin crew menyapa penumpang dengan nama. Sepertinya setiap cabin crew bertanggung jawab pada beberapa penumpang dan menghafal nama sesuai nomor kursi. Oh, bahkan sebelum duduk, sudah terjadi sedikit ‘kecelakaan’ akibat keudikan saya, gara-gara di kursi sudah ada barang orang lain…. “Mbak, ini kayaknya kursi saya deh…” (maksudnya kog udah ada barang orang lain disana). Si Mbak dengan sopan,“Iya Pak, itu tempat duduk Bapak.” Saya – dengan tololnya – sambil berbisik (ceritanya gak mau bikin malu penumpang yang salah menaruh barangnya di kursi itu), “Ini kayaknya tempat duduk saya.” Si Mbak dengan tetap sopan,”Betul Pak, ini tempat duduk Bapak.” Ah ya masa bodo deh kalo gitu, saya duduk. Dan saat itulah saya baru melihat logo Garuda di pouch hijau lumut tersebut. Ternyata isinya amenities berisi eye mask, hand cream L’occitane, dan sebagainya. Damn, belum apa-apa udah ketahuan kampringnya. Ya maaf, biasa di kelas ekonomi amenities baru dibagikan setelah penumpang terbang atau diselipkan di rak majalah depan kursi, itu pun cuma pakai tas serut dari kanvas tipis. Setelah terbang, saya mulai bermain-main dengan segala macam tombol yang ada di sekitar, sedikit merebahkan kursi, menaikkan sandaran kaki, menekan tombol yang membuat sandaran lebih menggembung memeluk pinggang, kempesin lagi, dan seterusnya. Semua saya lakukan hati-hati jangan sampai menarik perhatian penumpang lain. Saya berdoa supaya tidak salah pencet dan tiba-tiba kursi terlontar menembus atap pesawat seperti pilot pesawat tempur dalam operasi penyelamatan diri. Akhirnya saya selimutan, wangi molto lembut. Beberapa saat kemudian, si Mbak mendatangi saya lalu duduk bersimpuh seperti Ibu kita Kartini mau ngomong sama Bapaknya. Lha saya yang jadi sungkan. Si Mbak bersimpuh saya menegakkan diri seperti mau berdiri. Ni kenapa lagi… Ternyata si Mbak cuma mau memberitahukan pilihan menu makan malam. Jadi standar kelas bisnis Garuda, kalau si Mbak mau ngomong sama penumpang, posisi defaultnya harus seperti itu. Kasihan sih, menurut saya gak usah begini-begini amat juga. Kira-kira 1 jam kemudian makan malam disajikan (difoto dulu sambil sembunyi-sembunyi), saya nikmati sambil nonton film. Beberapa Mbak-Mbak lalu lalang mengurusi keluarga besar asal Surabaya satu genk, sekitar 9 orang, dari matriarch-nya seorang ibu berusia 70-an tipe holland spreken, sampai cucunya yang masih berusia 10 tahunan. Entah habis berapa ratus juta keluarga itu keluar uang hanya untuk tiket pesawat. Si Tante minta air putih hangat untuk nenggak Tolak Angin cair, sambil sempatnya ngomong ke Mbak-nya, “ini yang punya Tolak Angin masih family”. Berikutnya kita panggil saja dia TT: Tante Tolak Angin. Mbak saya mendatangi lagi, duduk bersimpuh lagi, dan saya menegakkan diri seperti siap bangun lagi, “Pak, di pesawat ini ada chef on board, Bapak mau sarapan apa besok pagi?” Kalau saya bilang nasi kuning dengan bawang goreng yang banyak dan orak arik tempe kecap yang agak gosong caramelized, kayaknya akan merepotkan juga. Saya bingung mau jawab apa. Sebelum mengambil menu card dari kursi, si Mbak langsung sigap, “ada American breakfast dengan pilihan telurnya mau dimasak seperti apa, bubur ayam, oatmeal yang dimasak mendadak, buah po….” Oke Mbak. Saya sudah siap dengan jawaban atas pertanyaan yang sulit ini, “American breakfast boleh Mbak, telurnya scrambled, dan buah potong. Makasih Mbak, saya terharu.” Dua kata terakhir cukup dalam hati saja. TT dan keluarga besarnya sudah mulai tenang. Walaupun waktu Eropa saat itu masih sekitar jam 4 sore, lampu kabin diredupkan mengikuti zona waktu Indonesia. Saya tidak bisa tidur. Entah karena kopi hitam di bandara Schipol, atau karena alam bawah sadar menolak tidur karena tidak mau rugi, harus menikmati perjalanan kelas bisnis ini. Dua film kemudian, satu majalah - dari cover sampai end cover - kemudian, dan melihat foto-foto perjalanan, akhirnya saya mencoba tidur (TT sudah ngorok dari tadi, Thank God pelan doang bunyinya. Masih bearable). Posisi kursi direbahkan maksimal, sandaran kaki dinaikkan maksimal: voila, flat bed. Saya tidak bermimpi TT mandi di bath tub penuh cairan coklat beraroma mint. Kalau iya saya bisa menjerit dan pesawat harus emergency landing di Pakistan. Saya terbangun setelah tertidur kira-kira 4 jam. TT dan keluarga masih tidur. Mungkin terbiasa tidur 8 jam. Dimana pun. Kapan pun. Sinar IPad yang menerangi wajah membuat seorang Mbak mendatangi saya, kali ini tidak sampai bersimpuh. Menyapa perlahan, “Bapak mau snack atau minuman?” Di SD dulu pelajaran Bahasa Indonesia, ini masuk kategori retoris, pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban. Semangkuk nachos & segelas wine kemudian, TT terbangun. Rambut sasaknya masih rapi, hanya saja belakangnya sedikit kempes. Seperti cotton candy kena sedikit tumpahan coca cola. TT ngajak ngobrol. Asal mana, kemana aja di Belanda, kerjaan atau liburan, sendirian, keluarga gak ikut, kerja dimana. Sensus Nasional di udara. Dan beliau berbicara dengan suara cukup keras sampai akhirnya keluarganya semua terbangun. TT benar-benar matriarch sejati. Seperti Ratu Elizabeth yang cukup melakukan sedikit gerakan, semua pengawalnya langsung siaga. Yang kasihan tentu saja cabin crew di bagian kami ini, karena kalau saya hitung-hitung sebenarnya saat itu belum masuk kategori ‘pagi’. Seharusnya mungkin baru 1-2 jam lagi aktivitas mulai berjalan. Tapi karena TT dan keluarga semua sudah segar bugar, cabin crew bolak balik mengantarkan snack dan minuman hangat di tengah lampu kabin yang tetap redup karena memang belum waktunya dinyalakan. Untungnya setengah dari genk TT tidur lagi. Suasana tenang lagi.
Benar saja, 2 jam kemudian lampu kabin menyala dan cabin crew mulai menyiapkan sarapan. Saat itu mungkin sekitar jam 7 pagi di Indonesia. Masih tersisa 3 jam perjalanan menuju Soekarno-Hatta. TT nenggak Tolak Angin lagi. Entah benar masuk angin, mau promosi, atau memang doyan. Mbak-Mbak cabin crew dengan sanggul keongnya yang tetap tegar sempurna (untunglah model defaultnya seperti ini, kalau harus sasak seperti TT akan sangat repot) mengantarkan sarapan. Chef – lengkap dengan celemek dan topinya – sesekali keluar ke area kabin. Penutup jendela mulai dibuka. Pagi di kawasan Asia telah tiba. Saya berpisah dengan TT di conveyor belt di Soekarno-Hatta. Masya Allah kopernya sejibun. Semoga isinya bukan permen ganja yang dibeli di Warmoesstraat. Di taksi dalam perjalanan dari bandara ke rumah, saya merenung, ketika terkurung belasan jam dalam sebuah tabung alumunium yang melayang di udara, space lebih 1 atau 2 atau 3 centimeter pun menjadi anugrah yang sangat indah dan nikmat. Pengalaman terbang dengan kelas ekonomi dan bisnis membuat saya lebih bisa menerima segala hal apa adanya. Kadang: Ini masih jauh lebih baik daripada meringkuk di kursi kelas ekonomi. Ada kalanya juga: Ini tidak ada bedanya dengan kursi kelas bisnis, kenapa kalau di darat harus jadi masalah? Anyway, saya tetap cinta kelas ekonomi Garuda. And I miss Tante Tolak Angin. God bless you Ma’am for making my journey colorful.
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
December 2018
Categories
All
all photographs &/ videos taken by myself unless otherwise stated.
|