“Di Tokyo kemaren nginep dimana?” “Di daerah Kita Senju.” “Eh, dimana?” Dan kemudian 5 menit bla bla bla menjelaskan apa dan dimana itu Kita Senju, dan kenapa tidak mencari akomodasi di daerah Shibuya atau Shinjuku atau Ginza atau Marounochi. Saya tahu Kita Senju dari calon host airbnb ketika berencana melakukan perjalanan ke Jepang tahun 2015 lalu. Malas rasanya tinggal di area shopping, dan biayanya pun lebih mahal. Saya cuma mencari area yang dekat dengan kereta bawah tanah, tidak terlalu di tengah kota pun tidak apa. Calon (yang akhirnya menjadi) host saya selama di Tokyo bercerita tentang area rumahnya lewat surel. Dan setelah mencari tahu sejarahnya lebih banyak lewat internet, saya lebih tertarik lagi. Dahulu kala pada Edo period, area Tokyo terbagi dua secara imajiner, Yamanote dan Shitamachi: Yamanote adalah dataran lebih tinggi yang lebih dekat ke imperial palace. Kawasan elit tempat bermukimnya orang kaya, atau pejabat, atau orang kaya yang dekat dengan pejabat. Dan juga social climber. Think about Downton Abbey. Sekarang, yang masuk ke area Yamanote adalah pusat kota Tokyo, termasuk Shinjuku, Ginza, Marounochi. Pokoknya kalau kita ke Tokyo dan tinggal di hotel, kemungkinan besar lokasinya pasti di kawasan imajiner Yamanote. Sebaliknya, Shitamachi adalah kawasan dataran rendah di sepanjang bantaran sungai Sumida. Di Tokyo modern sekarang, kawasan imajiner Shitamachi termasuk area Adachi (dimana Kita Senju berada), Arakawa, sebagian dari Chiyoda, dan beberapa neighborhood lain yang tidak begitu dikenal sebagai tujuan akomodasi pejalan selama tinggal di Tokyo. Di jaman Edo, penduduk Yamanote menganggap penduduk Shitamachi yang kebanyakan pedagang dan artisan adalah warga ‘kelas dua’, bohemian, happy go lucky type. Sebaliknya, penduduk Shitamachi menganggap penduduk Yamanote adalah orang-orang snob. Sekarang tentu saja pengelompokan berdasarkan ‘kasta’ sudah tidak berlaku lagi. Saat ini diferensiasi Yamanote dan Shitamachi lebih ke arah city planning. Yamanote adalah ‘Central Tokyo’ yang menjadi jantung kota, pusat bisnis, pusat hiburan, transportation hub. Sementara Shitamachi masuk ke kategori ‘Old Tokyo’. Dan memang suasana Kita Senju benar-benar memberikan atmosfir old town yang laid back. Saya tidak melihat ada hotel. Keramaian berpusat di stasiun kereta yang menyatu dengan sebuah mall bertingkat empat di kawasan niaga, dan untungnya ada bis yang meluncur langsung dari bandara Haneda ke sini, ongkosnya sekitar IDR 100 ribu saja. Keberadaan mall ini lebih dari cukup buat saya. Ada tempat ngopi yang enak. Di supermarketnya tersedia segala macam makanan, kue-kue, mochi, jellies, yang biasa kita temui di kawasan lain dan tidak kalah dengan di bandara. McDonalds pun ada (walaupun sepertinya tidak laku). Yang pasti sepertinya disini tidak ada turis. Saya rasa cuma saya satu-satunya yang bukan orang lokal di kawasan ini, selama 3 hari berada di Kita Senju. Keluar dari kawasan mall, ada pasar, ada kawasan belanja kuno mirip dengan Pasar Baru di Jakarta, atau Jl. Dalem Kaum di Bandung (waktu masih rapi tahun 80-an). Saya mencari anggur pione - yang di Jakarta harganya IDR 600 ribu per 500 gram - dan tanpa susah payah langsung ketemu di sebuah toko buah sederhana. Harganya IDR 100 ribu. Senangnya bukan main. Anggur Pione – mirip dengan anggur Taiwan –rasanya manis, sangat juicy tapi tidak crunchy seperti anggur red globe, malah cenderung kenyal bagai jeli. Berwarna ungu pekat, kulitnya terlapisi oleh zat yang sepertinya menolak air, terlihat 'matte'. Buahnya besar-besar, satu rangkaian sangat rapat. Kepadatannya membuat bentuknya seperti jantung. Yang sangat distinctive adalah aromanya, luar biasa harum sampai terasa artifisial. Wanginya benar-benar mirip permen atau jeli rasa anggur. Mirip esens tepatnya. Tapi saya yakin sih asli ya. Karena di Jepang sendiri anggur Pione ini juga dianggap premium. Anggurnya biasa dibungkus kertas tissue, baru dimasukkan ke boks plastik. Berburu makanan di Kita Senju sangat menyenangkan. Ada “bar street”, sebuah gang yang dipenuhi orang-orang lokal kelaparan mencari ramen dan bir selewat jam pulang kerja. Harganya tidak semahal di kawasan sentral. Setiap hari bahkan sejak pertama tiba dari Haneda saya melewati bar street ini karena menjadi jalan pintas ke penginapan saya. Apartemen – atau lebih tepat townhouse – milik host saya berada di sebuah gang yang sebenarnya bisa dilewati mobil. Tapi selama 3 hari saya hanya melihat orang jalan kaki atau naik sepeda. Semua rumah di gang ini berupa townhouse bertingkat 2. Satu lantai ada yang 3 atau 4 unit. Walaupun bentuk bangunannya tidak seragam, semuanya memberi kesan rapi dan ‘jepang banget’ karena justru tidak ada yang berbentuk bangunan tradisional Jepang. Bentuk-bentuk bangunannya terasa jujur, apa adanya, dan membangkitkan imajinasi rumah-rumah yang isinya barang-barang bermerk Muji. Kecil, sederhana, fungsional, tanpa kegenitan.
Saya tidak banyak mengambil foto karena tidak ingin dianggap turis nyasar disini. Cukup setiap malam menjelang tidur, di kamar tidur yang berbalkon, saya menikmati malam melihat bangunan-bangunan di gang yang beranjak gelap menyisakan intipan pendar lampu kekuningan dari jendela. Membayangkan penghuni-penghuninya menonton TV dari ruang keluarga. Di kejauhan, Tokyo Skytree mencari perhatian dengan sinarnya yang terus menerus berubah warna. Sesekali terdengar desis halus kereta yang melewati Kita Senju station. It was 3 perfect nights.
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
December 2018
Categories
All
all photographs &/ videos taken by myself unless otherwise stated.
|