Walter adalah host Airbnb di Osaka. Ayahnya orang Jepang, ibunya Brazilian. Ayumi adalah housemate-nya, gadis Jepang yang baru pulang merantau dari Australia bekerja di perkebunan paprika. Selama 3 hari di Osaka, setiap malam saya ngobrol bersama mereka sampai jam 11 – 12 malam. Obrolan malam hari ini lebih menarik dibandingkan melihat lampu-lampu di shopping area Dotonburi yang menyilaukan seperti orang yang habis menenggak ramuan magic mushroom, salah satu topik yang kami perbincangkan. Hanya setelah bertemu dan menginap di rumah Walter, saya tahu mengenai Japanese Brazilian. Tampang Walter tidak seperti Japanese, juga tidak seperti Brazilian. Satu-satunya penanda dia bukan Jepang asli adalah rambutnya yang keriting menempel ke kepala, tidak seperti orang Jepang yang banyak berambut lurus. Di akhir abad 19 Brazil membuka pintunya bagi imigran untuk bekerja di perkebunan kopi. Sebelumnya para pekerja perkebunan adalah budak berkulit hitam, namun pada tahun 1850 slavery dihapuskan. Imigran dari Italia mulai masuk ke Brazil dan menggantikan posisi pekerja perkebunan, namun mereka banyak yang kecewa karena upah yang diterima tidak berbeda dengan budak. Di lain pihak, orang Jepang yang ingin bekerja di luar negeri untuk masa depan yang lebih baik kesulitan untuk masuk ke negara-negara ‘kulit putih’. Pada tahun 1907 Jepang dan Brazil menandatangani kesepakatan yang memperbolehkan orang Jepang pindah ke Brazil. Saat ini, komunitas Jepang terbesar yang ada di luar negeri adalah di Brazil. Mereka berasimilasi dan menjadi Japanese Brazilian, salah satunya model Victoria Secret’s Adriana Lima. Puluhan tahun kemudian tahun 80-an kondisi berbalik arah, Jepang menjadi negara maju dan Brazil mengalami ketidakpastian ekonomi dan politik. Banyak Japanese Brazilian kembali ke Jepang (mereka disebut Dekasegi). Bersama Walter, ayahnya napak tilas ke Jepang, bolak-balik sampai tahun 2000 Walter melakukan perjalanan terakhirnya ke Jepang dan memutuskan tinggal di Osaka. It’s amazing story, yang mungkin tidak akan pernah saya tahu atau baca kalau saya tidak bertemu Walter.
Ketika saya tiba jam 7 malam, Walter belum pulang dari tempat kerjanya. Dia bekerja 12 jam sehari di sebuah perusahaan ekspor-impor. “…. orang Jepang gila kerja. Dulu bahkan banyak yang bekerja 7 hari seminggu. Tapi sekarang pemerintah sangat ketat mengawasi perusahaan. Jam kerja justru dikurangi”. Ayumi yang menunggu saya di apartemen, dan tidak sampai setengah jam kemudian kami jalan kaki ke Dotonburi, di tengah gerimis yang semakin lama semakin membesar. Ayumi berasal dari sebuah kota kecil di pinggiran Jepang, lalu tinggal di Osaka, merantau ke Australia, dan saat ini kembali lagi ke Osaka untuk mencari kerja dan tempat tinggal. Untuk sementara ini dia nebeng di rumah Walter. Yang menyenangkan ngobrol dengan mereka berdua adalah karena masing-masing dari mereka pernah ke Indonesia. Walter pernah ke Jakarta, Jogja, dan Bali. Sementara Ayumi pernah liburan di Bali, walaupun hanya tahu Seminyak dan Canggu. Saya bertanya, dengan siapa dan naik apa Walter keliling Jakarta yang - saya bilang - sistem transportasinya amburadul. Dia bilang naik KRL, taksi, dan bus….. Sangat mengagumkan jiwa petualang orang asing dibandingkan orang Indonesia. Berkunjung ke suatu kota dengan sistem kereta api urban yang sangat terintegrasi saja kadang-kadang kita masih bingung dan takut tersasar, sementara orang asing bisa survive menggunakan (atau lebih tepatnya TIDAK menggunakan) sistem transportasi yang ada di negara kita. Perbincangan bercabang ke berbagai topik, dari magic mushroom yang dicoba Walter di Bali. (“Semua yang saya lihat jadi bercahaya. Setiap saya melangkah, saya merasa dikerumuni orang yang memuja saya…”) sampai nasi goreng yang menjadi makanan favorit Walter. Dari pengalaman Ayumi yang datang ke Bali tepat pada hari raya Nyepi (“… saya mengendap-ngendap keluar hotel malam hari, semua gelap gulita. Akhirnya ketakutan sendiri dan kembali…”) sampai pekerjaan Ayumi di Australia memanen paprika 8 jam perhari yang membuatnya sakit pinggang. Satu lagi hal yang membuka mata dan ditegaskan oleh Ayumi, tidak semua orang Jepang itu kaya raya. Dan dia mengeluhkan dunia pariwisata Bali yang memperlakukan turis Jepang seperti ‘mangsa empuk’. Akhirnya kami tiba ke topik cewek Jepang yang doyan cowok Bali berkulit gelap. Untungnya Walter sendiri bilang hal yang sama. Jadi tidak terlalu awkward buat saya. Jadi ini penjelasannya dan - yang lebih penting – perspektif dari orang Jepang sendiri:
Setelah 3 malam ngobrol hal-hal random, kami berpisah karena saya melanjutkan perjalanan ke Tokyo. Koper saya tetap ringan, saya tidak membeli apapun selain sepasang sepatu sport mungil titipan keponakan (yang ironisnya mau merk Nike atau Adidas atau apapun itu, yang dijual untuk pasar domestik Jepang justru buatan Indonesia), tetapi pengetahuan saya bertambah banyak, mulai dari sejarah imigrasi Jepang Brazil, first hand account orang yang mengalami high dari magic mushroom, persepsi orang Jepang dan Brazil mengenai Indonesia, dan yang paling penting, tidak semua gadis Jepang di Bali itu nabirong*. Sebelum meninggalkan gedung rumah susun sederhana ini untuk terakhir kalinya, saya memotretnya. Lorong yang saya lalui bolak balik selama 3 hari menjelang malam. Setelah kaki pegal menyusuri jalanan Osaka, saya selalu semangat ketika pulang kesini, berharap Walter dan Ayumi sudah tiba di rumah sehingga kami bisa ngobrol, ditemani bir Asahi yang saya beli di warung di lantai dasar. *napsu birahi merongrong
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
December 2018
Categories
All
all photographs &/ videos taken by myself unless otherwise stated.
|