Harlem, neighborhood di NYC. Nama area ini berasal dari Haarlem, sebuah kota kecil di Belanda. Mengapa namanya kebelanda-belandaan, mungkin karena ini.
Yang pertama terbayang (akibat kebanyakan menonton film Amerika) tentang Harlem daerah suram, graffiti, penduduk kulit hitam, gangs, drugs. Well, mungkin itu benar kalau kita masih ada di era 70-80 an. Harlem sekarang sama amannya dengan area lain. Atau kita juga bisa bilang Harlem sama tidak amannya dengan area di kota-kota lain. Buat saya tidak ada tempat yang 100% aman atau 100% horor. Harlem yang saya lihat (dan menjadi neighborhood pertama yang saya tinggali - langsung dari bandara - ketika jalan-jalan ke Amerika Serikat untuk pertama kalinya) adalah area yang sangat bersih, cenderung sepi, dengan penduduk yang sangat bangga dengan kawasan tempat tinggalnya yang historik, dengan budayanya. Dan aman. Di hari minggu perempuan-perempuan setengah baya memakai baju terbaiknya untuk ke gereja. Sayup-sayup terdengar paduan suara penyanyi kulit hitam (saya pernah dengar istilahnya adalah negro spiritual. Entah apakah istilah ini masih digunakan. Terdengar rasis). Saya berpikir, mungkin justru penduduk Harlem yang sebal melihat orang-orang yang merasa tidak nyaman dan ketakutan kalau harus berada di area tersebut. Just be open minded, polite, respectful, and use our common sense. Kalau naluri kita mengatakan sepertinya tidak aman, hindarilah. Tetapi kita juga jangan menyamaratakan bahwa orang bertampang keras pasti adalah kriminal. Sebagai pejalan, di Harlem saya malah mendapat pengalaman yang tidak akan terlupakan dan kontemplatif. Suatu pagi saya menyeret koper menuju subway. Seorang lelaki usia 50 an keluar dari apartemen menuju mobilnya, dan menawarkan jika saya mau ke bandara JFK bisa ikut dengannya (dia bekerja di bandara). “Take care, you” katanya ketika saya bilang mau ke Penn Station (untuk naik kereta ke Washington DC). Saya merasa dia adalah orang baik-baik karena otak saya mencerna informasi yang ada di pandangan saya. Pria berkulit hitam, keluar dari apartemen (tentunya bukan homeless man), memiliki mobil (tentunya penghasilannya lumayan), dia menuju tempat kerja (tentunya bukan pengangguran). Apakah pandangan saya terhadap lelaki ini akan sama kalau saya bertemu dia secara random, berpapasan di jalan yang sepi? Mungkin tidak. Mungkin saya akan menghindari kontak mata dan berjalan melipir sedikit menghindar. Dan ada prasangka buruk di pikiran saya. Saya masih harus banyak belajar untuk membuang prasangka di mata, hati, dan pikiran. Traveling adalah salah satu cara terbaik untuk selalu mengingat. Kita semua adalah manusia kecil. Hidup bersama-sama di sebuah neighborhood. Bumi.
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
December 2018
Categories
All
all photographs &/ videos taken by myself unless otherwise stated.
|