Tallinn, ibu kota Estonia adalah kota pelabuhan di teluk Balkan. Tidak terlalu besar, dari bandara ke pusat kota dicapai dengan naik bis sekitar 30 menit tanpa macet. Dari Tallliin kita juga bisa mengunjungi Helsinki – ibu kota Finlandia – cukup dengan 1 jam perjalanan naik ferry. Saking dekatnya, banyak penduduk Tallinn yang komuting setiap hari ke Helsinki. Pada rush hours kapal ferry dipenuhi para pekerja (baik white collars maupun blue collars). Dibandingkan dengan kota-kota lain di Eropa, Tallinn terasa tidak terlalu berkembang. Bangunan-bangunan modern-nya berasal dari era Uni Soviet tahun 50-an, terkesan kusam, tidak ramah. Dimana-mana masih banyak grafiti yang entah ngomongin apa. Yang saya ingat waktu itu, kota ini pasti cocok jadi setting film spionase jaman perang dingin. Orang-orangnya - jika tidak kenal - cenderung kaku, reserved, dengan raut wajah yang keras. Tapi saya tidak men-generalisasikan hal ini, karena buktinya host airbnb saya Peeter adalah salah satu host terbaik yang pernah saya temui. Dia jurnalis yang sangat ramah dengan banyak cerita. Dia adalah bagian dari singing revolution itu sendiri. Tetapi di tengah kota ada sebuah tempat yang diakui sebagai UNESCO World Heritage Site, yaitu Tallinn Old Town. Kawasan mungil seluas 1.2 km persegi yang dibangun pada abad ke-13 ini dulunya terlindungi oleh benteng / city wall. Arsitekturnya sangat indah, terawat, membawa kita kembali ke jaman medieval. Jika kita baca di situs-situs perjalanan, Tallinn Old Town selalu menempati peringkat sebagai kawasan dengan Christmas market terbaik di dunia. Sayang saat itu saya tidak pergi di bulan Desember. Tapi mungkin saya tidak akan kuat dengan dinginnya. Tallinn adalah kota terdingin yang pernah saya kunjungi. Angin teluk Balkan dapat membuat temperatur turun ke 2C di siang hari. Orang-orang selalu berusaha berjalan di tengah sinar matahari, karena begitu kita berjalan di tempat teduh atau awan menghalangi matahari, dinginnya membuat gigi gemeletuk. 3 hari saya di Tallinn, dan 3 kali pula saya pergi ke Old Town, menyusuri jalan-jalan kecilnya, minum hot wine di sebuah winery kuno, makan daging dan roti dengan selai bawang bombay di Olde Hansa, restoran - yang tadinya adalah rumah seorang saudagar - bersuasana medieval dengan waiter/waitress yang bicara dengan gaya teatrikal seperti di serial Games of Thrones, masuk ke toko barang antik yang menjual barang steampunk, melamun di city wall, melihat old town dari Tompeaa yang merupakan ‘kawasan elit’ kota tua ini di masa kejayaannya 7 abad lalu, dan memotret ratusan pintu rumah yang semuanya seperti one of a kind.
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
December 2018
Categories
All
all photographs &/ videos taken by myself unless otherwise stated.
|