Dulu kala, pergi jalan-jalan adalah kegiatan berpacu dengan waktu. Selalu ada perasaan tidak mau rugi, jangan buang-buang waktu di tempat tujuan. Contohnya ke Bali, pergi naik pesawat paling subuh (dan karena dulu tinggal di Bandung dan belum ada penerbangan langsung ke Bali, saya berangkat ke Jakarta tengah malam). Begitu tiba di Bali langsung ke hotel, titip koper, lalu keluyuran sampai sore, balik ke hotel, check in, mandi, untuk kemudian pergi lagi sampai tengah malam. The energy of the youth. Sekarang boro-boro. Tiap jalan-jalan dengan durasi yang lumayan, saya selalu menyiapkan 1 hari di tengah durasi untuk tidak kemana-mana (lumayan disini adalah minimal 10 hari, dan terutama jika tinggal di fasilitas Airbnb di tengah pemukiman yang tidak turistik). Di satu hari tersebut saya berusaha melebur dengan lingkungan tempat saya tinggal saat itu, membuat sarapan dari bahan yang dibeli malam sebelumnya di grocery store sekitar, berusaha cari makan siang dan makan malam di warung atau neighborhood restaurant, menyempatkan tidur siang, nonton TV lokal acara siang, dan melihat serta mendengar ‘suara’ lingkungan tersebut dari jendela. Senior citizen keluar dari rumah pagi-pagi menuju taman (atau pasar mungkin), anak-anak bercakap-cakap menuju rumahnya pulang sekolah, seorang ayah muda mendorong stroller. Lain waktu, menikmati gemuruh suara angin laut dari jendela ruang tamu. Atau sekedar menikmati siang yang sepi di sebuah rumah bergaya eksentrik bercat merah menyala dengan sepeda yang digantung di dinding. Be at home on your holiday destination, because it is different with your own home. And the differences, the uniqueness, the peculiarities are the essence of travel. Am I right?
1 Comment
Trinity
23/12/2016 10:56:17
Iya, quite right. Tapi tetep masih susah rela untuk 'buangwaktu' sampai seharian mah. Haha. I still love to explore from sun rise till night.
Reply
Leave a Reply. |
Archives
December 2018
Categories
All
all photographs &/ videos taken by myself unless otherwise stated.
|