Kamar tidur adalah salah satu elemen penting ketika jalan-jalan. Karena kalau tidak perlu keluar malam, saya berusaha jam 21.00 sudah meringkuk hangat di ranjang sambil baca travel book, browsing ipad, dan merencanakan aktivitas esok hari. Dan mengembalikan energi yang terkuras hari itu. Jadi sebisa mungkin kamar tidur harus nyaman. Tidak berarti harus di hotel mewah berbintang terang, tapi – walaupun belum mencoba – rasanya saya pun tidak bakal nyaman tidur di hostel. Yang paling utama bakal jadi masalah adalah kamar mandi komunalnya, karena saya kalau BAB harus lama dan merenung. Not a true backpacker nor one looking for costly luxuries. Jadinya saya biasa tidur di hotel yang gak murah-murah amat gak mahal-mahal amat, dan dua tahun terakhir saya sering tidur di airbnb facilities. Setidaknya bisa menunggu host saya pergi kerja baru saya BAB tanpa terganggu. Ini adalah beberapa kamar tidur yang memorable waktu saya jalan-jalan: Amsterdam Kamar mungil di lantai dua sebuah hotel di kawasan red light district. Bangunannya tipikal bangunan belanda kuno seperti di foto-foto atau souvenir tempelan kulkas. 5 lantai tanpa lift, tangganya curam. Untungnya saya dapat di lantai dua. Kasur dan duvet-nya tebal, fluffy. Saking kecil kamar, ranjangnya menempel ke jendela. Menghadap ke Damrak. With morning view like this, I’m not complaining. Cappadocia Di Cappadocia, Turki, saya menginap di ‘cave hotel’. Orang-orang Cappadocia ratusan tahun lalu masih berumah di gua-gua yang saat ini dijadikan hotel. Karena strukturnya yang tidak beraturan, biasanya guanya tersebar, tidak berdampingan satu sama lain, dan tidak ada gua yang persis sama. Di setiap ‘kamar’, ada foto asli gua tersebut sebelum difungsikan sebagai kamar hotel. Satu-satunya struktur baru yang ada di setiap kamar adalah kamar mandinya. Vancouver Liburan kurang tahu diri. Nebeng di rumah teman di sebuah suburb, 20 hari. Kamarnya normal saja. Tapi memorable karena inilah pertama kali saya jalan-jalan ke ‘negara barat’. Pagi pertama bangun masih jet lag parah, saya ke balkon. Rasanya aneh melihat banyak burung gagak memekik (biasanya burung gereja bercuit) dan tidak lama kemudian raccoon membongkar tempat sampah sampai terguling (biasanya kucing). Nagarkot Sebuah kota (atau desa?) di dataran tinggi - yang kalau sore selalu berkabut super tebal - kira-kira 1,5 jam perjalanan dari Kathmandu, Nepal. Saya menginap di eco hotel yang dimiliki seorang perempuan Jerman. Waktu itu low season, di hotel itu cuma ada dua tamu termasuk saya. Hawanya dingin seperti di Puncak tahun 90-an. Dan setelah perjalanan panjang Jakarta – Singapura – Kathmandu – Nagarkot, saya tidur seperti mayat. Padahal ceritanya cuma tidur siang doang….. Di hotel yang kental dengan dekorasi Nepal itu saya bebas masuk ke dapur melihat pekerja mempersiapkan pesanan makan malam, naik ke dak untuk melihat Himalayan mountain ranges, pagi-pagi ikut beli sayur ke pasar dan ditraktir susu kerbau yang dicampur mentega, sore-sore diajarin main catur Nepal. Tidak ada raja, ratu, prajurit. Yang ada adalah macan dan kambing dengan pola langkah tertentu yang sudah baku mengikuti aturan. Intinya si kambing harus menghindari macan. Rasanya ya. Saya sudah lupa dan menyesal tidak beli catur yang papannya terbuat dari kain blacu dan bijinya dari kayu tersebut. Tallin Ibu kota Estonia. Ini pertama kalinya saya menginap di fasilitas airbnb. Host saya bernama Peter, seorang editor surat kabar yang bekerja mulai jam 8 malam sampai subuh. Kamarnya cuma satu, jadi selama menerima guest, dia sendiri tidur di sofa. Apartemen - dan kamar tidurnya - langsung menghadap ke jalan raya yang merupakan salah satu jalan utama di Tallin. Pada rush hours cukup berisik, tapi sekitar jam 7 - 8 malam saja sudah sepi karena temperatur Tallin bisa drop sampai -2C. Di review airbnb-nya, Peter terkenal suka menyiapkan sarapan oatmeal yang katanya enak sekali. Dan memang, ini oatmeal yang paling enak yang saya pernah makan. Bermacam-macam biji-bijian dimasak tidak terlalu lama, tapi chewy-nya bisa pas sekali. Karena dia jurnalis, pengetahuannya luas. Sambil breakfast dia bercerita banyak mengenai kehidupan di Estonia ketika masih menjadi bagian dari Uni Soviet, dan dia pun bertanya banyak tentang Jokowi. The first, and one of the best, airbnb experience for me. Bergen Saya bakal tiba di Bergen, kota pelabuhan kecil di Norwegia menjelang tengah malam. Jadi saya cari hotel terdekat dengan stasiun kereta. Dapatlah ini hotel Grand Terminus. Ternyata spooky poool. Sampai males untuk foto kamarnya. Ok, sebenarnya kamarnya sih biasa saja. Tapi suasana hotel secara keseluruhannya yang bikin merinding. Ini hotel kuno legendaris mirip Savoy Homann di Bandung. Dekornya mengingatkan ruangan-ruangan di film Titanic (padahal di website terlihat modern terang-benderang). Ternyata yang ‘dijual’ justru kunonya, sejarah dan legendanya. Disinilah saya pertama kali menggunakan lift yang pintunya masih berupa jeruji seperti kerangkeng yang harus ditarik tangan untuk ditutup. Dan saya sempat salah turun ke basement (seperti banquet hall?) yang gulita. Lalu lift-nya nutupnya lama pula. Yang paling membuat perasaan campur aduk, di kamar disediakan sebuah buku ‘with compliment’ (no I don’t want it actually!) berjudul The Ghosts of Grand Terminus. Saya baru baca waktu sudah tiba di Indonesia. Bukan cerita setan sih, jadi ceritanya suatu malam ada rombongan nelayan yang akan berlayar, mereka berpesta di saloon yang ada di hotel ini. Dan keesokan harinya ketika berlayar kapalnya dihantam badai dan hilang. Buku ini didedikasikan untuk nelayan-nelayan tersebut yang katanya “having the time of their life, for the one last time, in this hotel”.
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
December 2018
Categories
All
all photographs &/ videos taken by myself unless otherwise stated.
|