Selama libur akhir tahun ini saya menghabiskan waktu dengan bingewatching serial The Walking Dead. Lalu hari ini di harian Kompas saya membaca artikel mengenai restoran legendaris di Puncak, Rindu Alam. Kedua hal yang tidak berkaitan ini berkelindan membawa kenangan mengenai Alesund, sebuah kota kecil 550 kilometer dari Oslo, Norwegia. Saya sendiri lupa kenapa bisa memilih kota ini sebagai bagian dari itinerary perjalanan ke Norwegia tahun 2014 lalu. Yang saya ingat, saya memilih Bergen (juga kota kecil – dan hometown-nya duo Kings Of Convenience – tapi memang lebih terkenal dan sering didatangi turis). Kemungkinan besar, saya memutuskan pergi ke Alesund setelah melihat foto city view dari Gunung Aksla. Harusnya ya, karena itulah yang ada di catatan saya di bagian tanggal sekian di Alesund mau pergi kemana. Alesund (dibaca ol-soon) adalah sebuah municipal yang tergabung dengan beberapa pulau kecil lain yang saling terhubung dengan jembatan. Informasi yang saya dapat dari Wikipedia, luas total Alesund municipality adalah 93 kilometer persegi atau seperdelapan Jakarta, dengan total penduduk hanya 45.000. Ini membuat kepadatan rata-rata hanya sekitar 500 orang per kilometer persegi. Kota ini terkenal dengan arsitektur Art Nouveau yang tersebar seragam di seluruh penjuru. Jadi ceritanya, di bulan Januari 1904 terjadi kebakaran yang konon diawali oleh seekor sapi yang menyenggol obor. Seluruh kota terbakar habis namun hanya ada 1 korban jiwa. Alesund kemudian dibangun kembali serentak dengan material yang sama dan desain yang juga mirip-mirip, yaitu gaya Art Nouveau yang saat itu sedang populer. Tiba di Alesund sore hari di musim gugur, dari bandara saya naik bus dengan rute ke stasiun kota. Saking kecil dan terkonsentrasinya, turun di stasiun kota berarti juga tiba di city center, ferry port, dan tourist information center. Semuanya berada di satu area. Menyeberang jalan, kita sudah sampai di muka kawasan kota tua dengan jalan cobblestone. Ok, dengan skala yang semuanya lebih kecil, yang dimaksud kawasan kota tua ini lebih cocok dibilang sebagai “pusat kota dan toko-toko jaman dulu”. Dan tipikal, saat ini dialihguna menjadi café dan restoran. Keesokan pagi setelah sarapan, saya mulai berkeliling kota. Sepi, hampir tidak ada turis (selama 2 hari disana, tidak sekali pun saya melihat orang Asia lain) selain beberapa pasangan manula berbahasa Jerman yang membawa peta kota. Saya sempat masuk ke Jugendstilsenteret (jugendstil = art nouveau, senteret = center). Bangunan kuno yang menjadi museum arsitektur art nouveau ini dulunya adalah sebuah apothecary. Cukup menarik, tapi 30 menit saja cukup karena hanya rumah bertingkat tiga yang tidak terlalu besar. Setelah makan siang di satu-satunya restoran chinese food yang saya temui, saya memulai perjalanan ke puncak gunung Aksla. Walaupun nama resminya memang gunung, tapi sebenarnya ini hanya sebuah bukit. Dari pusat kota yang kita anggap sejajar dengan permukaan laut, kita hanya perlu naik 418 undakan sampai ke Fjellstua, sebuah restoran tepat di puncak bukit Aksla. Tetap ngos-ngosan. Fjellstua adalah satu-satunya restoran dan point of view di puncak gunung Aksla untuk melihat Alesund dari ketinggian. Coba saja googling image ‘Alesund’, hampir semuanya memperlihatkan foto yang sama seperti ini: Alternatif kedua adalah berjalan menjauh ke perbatasan kota sampai ketemu kaki bukit, lalu mulai mendakinya - berbalik arah - untuk menuju Fjellstua. Lebih jauh dan lama (kira-kira 1 jam dari pusat kota) tapi juga lebih landai dan tidak melelahkan. Saya memilih rute ini. Selama pendakian suasana sangat sepi, saya hanya berpapasan dengan beberapa penduduk lokal yang jogging. Semakin ke atas, mulai terlihat laut yang berwarna keperakan tersorot sinar matahari siang. Sampai di Fjellstua, saya mengambil beberapa foto. Tidak ada orang selain saya, dan anehnya tidak ada usher atau waiter restoran yang berupaya menarik saya untuk singgah, walaupun akhirnya saya masuk dan memesan makanan. Pertama masuk ke restoran ini, ada sebuah foyer yang masih terasa kuno, dan memang hanya foyer inilah satu-satunya bagian asli dari gedung yang dibangun tahun 1903 ini. Dekorasinya dari kayu, suasananya remang-remang dan banyak foto-foto kota Alesund berbagai jaman yang diambil dari Fjellstua, sejak tahun 1920-an (foto hitam putih yang sudah hampir putih semuanya), tahun 1950-an (hitam putih yang sudah menguning), dan tahun 1980-an (foto berwarna tapi sudah kebiru-biruan). Dari foyer saya masuk ke ruang makan yang suasananya berubah total. Modern tapi “lama”, hasil renovasi tahun 1985. Suasananya mirip restoran Rindu Alam di Puncak, terasa mewah tahun 1980-an, tapi sepertinya sejak itu tidak pernah direnovasi lagi. Menu makanannya pun standar, baked chicken, beberapa jenis sandwich dengan side dish sup dan salad yang bisa kita pilih. Hanya saya satu-satunya pengunjung di restoran tersebut, dan tidak lama kemudian koki, waiter, dan waitress duduk di meja sebelah lalu makan siang juga. Aneh memang, lokasi strategis, tempat legendaris, tapi boro-boro laris. Setelah makan siang dan ngopi-ngopi sendiri, saya turun lagi lewat rute yang sama dan tiba di pusat kota sekitar jam 4 sore. Sudah sepi, mobil hanya satu dua, dan saking sepinya suaranya sudah terdengar jauh sebelum mobilnya sendiri lewat. Mendesing, atau lebih tepatnya mendesis. Orang bercakap-cakap di seberang jalan terdengar jelas terbawa gema. Suara yang dominan adalah pekikan burung-burung laut. Saya jalan-jalan tanpa arah menunggu waktu makan malam. Keluar dari restoran setelah makan malam, hari masih terang (matahari baru benar-benar tenggelam sekitar jam 20.00). Lalu..... tiba-tiba ada satu momen, kira-kira 15 detik, dimana sama sekali tidak ada orang di jalan, tidak ada mobil lewat, dan bahkan burung-burung laut pun sepertinya sedang break berteriak. Tidak ada suara sama sekali. Senyap sempurna. Seperti adegan pembuka di The Walking Dead. (Karena waktu itu saya belum nonton, yang saya ingat adalah I Am Legend-nya Will Smith. Sama, zombie party juga). Malamnya, saya ngobrol tentang sepinya kota ini dengan host airbnb saya, seorang pria Italia yang tinggal bersama girlfriend-nya, perempuan Norwegia yang tidak terlalu fasih berbahasa inggris. Dia tertawa, “It feels strange, isn’t it? Saya juga waktu pertama kali pindah kesini ngerasain hal yang sama.” Apakah saya menyesal menghabiskan 2 malam di kota ini? Sama sekali tidak. Alesund adalah kota indah, picturesque, dengan sejarah unik. Dan saya bersyukur bisa sampai/pernah kesini. Tapi Alesund juga bukan sebuah tempat yang ingin saya datangi lagi di masa depan. Ini sebuah kota yang ‘sekali aja cukup lah’. Sebelum ke bandara, sekali lagi saya berkeliling kota, menikmati dan mengambil amat banyak foto. Good bye Alesund, take care.
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
December 2018
Categories
All
all photographs &/ videos taken by myself unless otherwise stated.
|